Selasa, 24 Januari 2012

PENGGUNA ANGGARAN/KPA YANG MERANGKAP SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN


Topik ini sengaja dipilih karena adanya posting yang menjadi topik hangat dalam http://forum.pengadaan.org dimana penulis menjadi sebagai salah satu anggotanya. Dalam posting tersebut disebutkan bahwa ada surat Deputi IV LKPP[1] yang dikeluarkan terkait dengan masih terbatasnya aparatur di daerah yang memiliki sertifikat Pengadaan Barang/Jasa. Sumber informasinya dari account facebook pribadi Direktur E-Procurement LKPP.
Isi surat tersebut menyebutkan bahwa PA/KPA yang melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen atau merangkap sebagai PPK tidak wajib bersertifikat (angka 5). Disebutkan juga bahwa Pengguna Anggaran (PA) dapat mengusulkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota agar Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) bertindak sebagai PPK (angka 7a) dan KPA yang melakukan sendiri fungsi membuat komitmen tidak wajib bersertifikat (angka 7b), dengan disertai penjelasan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar yaitu tidak menetapkan Organisasi Pengadaan sebagaimana ketentuan Pasal 7 dan tidak menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010.
Membaca isi surat tersebut sekilas merupakan jalan keluar bagi daerah dengan kendala masih terbatasnya aparatur yang memiliki sertifikat, namun demikian setelah penulis kaji ulang secara ilmu hukum, penulis berpendapat surat tersebut cacat hukum, sehingga rentan menimbulkan sengketa bagi PA/KPA di daerah yang melaksanakannya. Surat Deputi LKPP tersebut mengandung 3 (tiga) hal yang menyebabkan cacat hukum, yaitu :
1.      Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK, sebagaimana yang disebutkan dalam angka 5 surat Deputi IV LKPP, walaupun demikian hal tersebut juga tidak terlarang, karena tidak ada ketentuan yang melarangnya. Dari sini timbul pertanyaan apakah dengan dasar tidak adanya larangan, dapat dibuat produk hukum yang memperbolehkan dengan berlandaskan pada penalaran hukum terhadap aturan secara letterlijk saja? Tentu saja tidak, karena ada konsekuensi lain yang perlu dipertimbangkan sebagai dampak dari diperbolehkannya perbuatan tersebut secara hukum. Dalam surat Deputi IV LKPP tersebut nampak jelas LKPP menggunakan penalaran hukum dengan mencari celah diantara dua produk hukum yang berbeda, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kedudukan PA/KPA dalam hal penggunaan anggaran dan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang mengatur tentang bagaimana PA/KPA melakukan tender/Pengadaan, keduanya secara material sangat berbeda, sehingga masing-masing peraturan memberikan kewenangan yang berbeda kepada PA/KPA walaupun dampaknya sama yaitu dikeluarkannya Anggaran Daerah oleh PA/KPA secara hukum. Sebagai pejabat publik, PA/KPA haruslah bertindak berdasarkan kewenangan, dengan demikian kewenangan yang dimiliki PA/KPA tidak bisa disalahgunakan secara hukum. Dengan demikian ketika LKPP bermaksud mengijinkan PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK, seharusnya dengan terlebih dahulu membuat aturan yang memberi kewenangan kepada PA/KPA untuk melakukannya secara hukum, bukan berdasarkan surat.
2.      Surat Deputi LKPP sendiri bukanlah produk hukum yang mengikat, sedangkan kewenangan yang diberikan dalam surat itu mengikat bagi para pihak yang melakukan tender/lelang/pengadaan. Ini berarti surat Deputi LKPP tersebut melampaui kewenangannya sendiri, sehingga bukanlah produk hukum yang tepat sebagai jalan keluar atas permasalahan yang ada.
3.      Surat tersebut juga secara jelas menyatakan bahwa PA/KPA yang merangkap sebagai PPK tidak melaksanakan tugasnya untuk menetapkan PPK dan melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c (Angka 6 Surat Deputi IV LKPP). Pernyataan ini berarti bahwa PA/KPA yang merangkap sebagai PPK telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam ilmu hukum, perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai setiap tindakan berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan : (1) hak subyektif orang lain; (2) kewajiban hukum si pelaku; (3) kaidah kesusilaan (geode zeden); dan (4) kepatutan dalam masyarakat[2]. Jadi perbuatan yang dianjurkan kepada PA/KPA adalah sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Ini sangat berbahaya bagi PA/KPA sendiri yang berada di daerah, ketika perbuatan tersebut terjadi maka semua produk yang dikeluarkan sebagai akibat hubungan hukumnya menjadi cacat hukum. Lantas bagaimana mungkin perbuatan ini bisa dijadikan sebagai jalan keluar bagi institusi di daerah. Bisa jadi semua PA/KPA yang melakukan hal tersebut digugat ke Pengadilan Negeri oleh peserta tender/lelang yang gagal menjadi pemenang.
            Permasalahan ini timbul karena daerah sendiri tidak menyiapkan aparaturnya dengan baik, padahal ketentuan perundang-undangan telah mengamanatkan dan memberikan kelonggaran (jeda) waktu yang cukup selama 2 (dua) tahun bagi PPK di daerah untuk memperoleh sertifikasi. Jalan keluar yang diberikan LKPP sebagai lembaga yang diberikan kewenangan secara hukum seharusnya sesuai dengan jalur hukum tidak malah terkesan menyuruh melakukan perbuatan melawan hukum.
            Alangkah lebih baik jalan keluar yang diberikan oleh LKPP untuk mengatasi permasalahan diatas adalah PA/KPA di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota membentuk minimal 1 (satu) ULP yang diisi dengan aparatur yang memenuhi syarat, sebagaimana yang diamanatkan Perpres No. 54 tahun 2010. Jumlah ULP ini kemudian dapat dikembangkan dimasing-masing SKPD seiring dengan meningkatnya jumlah aparatur yang memenuhi syarat. Opsi lain kembali kepada LKPP sendiri bagaimana menghasilkan aparatur daerah yang memiliki sertifikasi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Saat ini dari pelatihan dan ujian yang diumumkan di website LKPP terlihat sangat besar ketimpangan antara jumlah lulusan dengan pesertanya, secara kasar dapat dirata-rata lulusannya hanya 10%-20% dari jumlah peserta yang ada. Ada apa dengan aparatur kita? Apakah memang sedemikian rendah kompetensinya? jika memang rendah kompetensinya lantas apa hasilnya uang rakyat dibiayai untuk meningkatkan kompetensi aparatur negara kita dengan pelatihan? Kalau pelatihannya yang salah, apanya yang salah dengan sistem pelatihan yang dibuat LKPP saat ini? Jawabannya kembali kepada LKPP.



[1] Unit Kerja yang dicantumkan di Website LKPP tidak menyebutkan Deputi IV, maka saya mengasumsikan bahwa Deputi IV LKPP adalah Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Surat asli juga tidak ada di website LKPP.
[2] Erman Rajagukguk, Perbuatan Melawan Hukum Oleh Individu Dan Penguasa Serta Kebijaksanaan Penguasa Yang Tidak Dapat Digugat, diunduh dari http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/ diakses tanggal 17 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar