Selasa, 24 Januari 2012

PA/KPA MERANGKAP PPK DALAM PERMENDAGRI No. 21 TAHUN 2011


            Ketika penulis selesai memposting link legal opinion[1] atas Surat Deputi IV LKPP mengenai Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dapat merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ada tanggapan dari rekan sesama Ahli Pengadaan Nasional dan juga admin http://forum.pengadaan.org, bahwa dasar hukum yang digunakan saat ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Setelah mengunduh dan menganalisa, penulis berpendapat bahwa telah terjadi antinomi antara Permendagri No. 21 tahun 2011 dengan Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh PA/KPA dengan merangkap sebagai PPK.
Perpres No. 54 tahun 2010 menegaskan pemisahan antara PA/KPA dengan PPK berupa pemberian kriteria (persyaratan) dan kewenangan yang berbeda, namun dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 keduanya dapat dirangkap dan dijadikan satu. Dari sini timbul pertanyaan apa dampak hukum atas PA/KPA yang merangkap sebagai PPK dengan dasar hukum Permendagri No. 21 tahun 2011 tersebut. 
Dalam konsiderans Permendagri No. 21 tahun 2011 disebutkan beberapa alasan yang menjadi pertimbangan dalam penyusunannya, salah satunya adalah :  penegasan terhadap kedudukan pejabat pembuat komitmen. Kemudian dalam pasal 10 A, disebutkan:

Pasal 10A
Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kemudian dalam Pasal 11, disebutkan:
Pasal 11
(1)       Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian kewenangannya  kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.

-sampai dengan-

(4)       Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang.
(5)       Dalam pengadaan barang/jasa, Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
Dari uraian pasal-pasal dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pengadaan barang/jasa Permendagri menegaskan bahwa PA/KPA dapat bertindak sekaligus sebagai PPK. Tidak ada dasar hukum yang disebutkan sehingga ada pengaturan tersebut, jadi yang membuat aturan adalah Permendagri tersebut.
Perpres No. 54 tahun 2010 mengatur bahwa dalam pengadaan barang/jasa, antara PA/PPK dengan PPK dipisahkan (PA/KPA menetapkan PPK), sehingga ada pemberian kewenangan dari PA/KPA kepada PPK khusus dalam hal pengadaan barang/jasa. Dengan adanya pemberian kewenangan kepada PPK, jelas kedudukannya bahwa PPK bertanggungjawab kepada PA/KPA. Kenapa pengaturannya seperti itu? Sebagaimana disebutkan dalam konsiderans, bahwa penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif,  sehingga diperlukan upaya untuk menciptakan  keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran  tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Itulah sebabnya Perpres  mendefinisikan PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan untuk menjadi PPK diberikan persyaratan yang cukup tinggi sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 ayat (2). Titik berat dalam Perpres No. 54 tahun 2010 adalah PPK haruslah seorang yang profesional dan tidak berpihak (independen) sehingga dapat menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Karena Perpres No. 54 tahun 2010 mengamanatkan adanya pemisahan antara PA/KPA dengan PPK sedangkan Permendagri No. 21 tahun 2011 memperbolehkan maka terjadi pertentangan/konflik antara norma hukum (antinomi) ada pertentangan hukum, bagaimana meninjau keadaan ini dalam ilmu hukum? jawabannya dikembalikan kepada tata peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Pasal 5 Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan :
Pasal 5
Dalam  membentuk  Peraturan  Perundang-undangan harus  dilakukan  berdasarkan  pada  asas  Pembentukan Peraturan  Perundang-undangan  yang  baik,  yang meliputi:
a.  kejelasan tujuan;
b.  kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.  kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.  dapat dilaksanakan;
e.  kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.  kejelasan rumusan; dan
g.  keterbukaan.
Kemudian dalam Pasal 8, disebutkan:
Pasal 8
(1)  Jenis  Peraturan  Perundang-undangan  selain sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7  ayat  (1) mencakup  peraturan  yang  ditetapkan  oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan  Perwakilan  Daerah,  Mahkamah  Agung, Mahkamah  Konstitusi,  Badan  Pemeriksa  Keuangan, Komisi  Yudisial,  Bank  Indonesia,  Menteri,  badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan  Undang-Undang  atau  Pemerintah  atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten/Kota,  Bupati/Walikota,  Kepala Desa atau yang setingkat. 
Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang  ditetapkan  oleh  menteri  berdasarkan  materi  muatan dalam  rangka  penyelenggaraan  urusan  tertentu  dalam pemerintahan.
Dengan meninjau Undang Undang No. 12 Tahun 2011 kita dapat melihat bahwa Peraturan Menteri juga bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 ayat 1), namun demikian sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5, pembentukan peraturan menteri harus melihat pada kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; serta disusun dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan (penjelasan Pasal 8 ayat 1).
Dari sini dapat dibuat kesimpulan, yaitu :
1.      Pengaturan PA/KPA dapat bertindak sebagai PPK dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011 tidak sesuai secara hierarki dan materi muatan dengan Perpres No. 54 tahun 2010 yang lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Permendagri berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini sesuai dengan asas hukum “Lex Superior Derogat Legi Inferiori” dimana terhadap 2 (dua) peraturan yang berada dalam urutan yang berbeda dan mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi[2], dalam hal ini Permendagri secara hierarki lebih rendah dari Perpres.
2.      Ruang lingkup Permendagri No. 21 Tahun 2011 adalah urusan tertentu dalam Kementrian Dalam Negeri, seharusnya pengaturan tersebut dibaca khusus diberlakukan bagi Kementrian Dalam Negeri, namun demikian kekhususan tersebut seharusnya bersifat mengatur lebih jauh dan tidak membuat aturan yang menyimpangi dan bertentangan dengan peraturan diatasnya secara hierarki. Asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” memang mengatur penggunaan peraturan yang lebih khusus, namun asas tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena kriterianya adalah bilamana 2 (dua) peraturan tersebut dalam urutan yang sama (sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama[3].
Lantas bagaimana jalan keluar mengatasi keadaan yang terjadi di daerah saat ini? kalau dihadapkan pada terbatasnya aparatur, maka PA tidak perlu membuat KPA, personil yang tadinya akan ditempatkan sebagai KPA dapat dijadikan sebagai PPK dengan kewenangan yang dibutuhkan oleh PA. Contoh : Bupati dapat membentuk 1 ULP terlebih dahulu untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa bagi semua SKPD di Kabupaten, dengan demikian tidak perlu membuat banyak panitia pengadaan bagi masing-masing SKPD. Dengan adanya satu badan ULP, maka aparatur yang bersertifikat dapat diangkat oleh PA sebagai PPK dalam pelaksanaan pengadaan, lalu dapat dipertimbangkan apakah KPA masih diperlukan atau tidak. 


[1] Denny Yapari, PA/KPA Yang Merangkap Sebagai PPK, Surabaya, Legal Opinion, 2011, dapat diunduh di http://rghost.net/36013548

[2] Peter MahmudMarzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 306

[3] Ibid

1 komentar:

  1. Sebelum berkomentar terlalu jauh, yang saya heran kenapa pembuat Perpres 54/2010 terlalu malas untuk memisahkan antara tugas dan wewenang. Jika "menetapkan PPK" oleh PA/KPA merupakan kewenangan, maka seharusnya PA/KPA boleh saja tidak melakukan pelimpahan kewenangannya, bukan begitu?

    BalasHapus