Sabtu, 10 Maret 2012

TATA CARA PEMBAYARAN DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

TATA CARA PEMBAYARAN DALAM
PENGADAAN BARANG DAN JASA

A.     PERMASALAHAN
Dalam pengadaan barang dan jasa berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010, PPK bertanggung jawab terhadap semua tahapan dalam pengadaan barang dan jasa, dimulai dari perencanaan hingga selesainya pelaksanaan pekerjaan termasuk pembayaran atas tagihan yang diajukan oleh penyedia. Selesainya pelaksanaan pekerjaan dinyatakan dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan yang ditandatangani Penyedia dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (Pasal 95 Perpres No. 54 Tahun 2010). Berita Acara Serah Terima Pekerjaan tersebut menjadi dasar bagi penyedia untuk dapat melakukan/mengajukan penagihan atas pekerjaan tersebut kepada Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Instansi yang bersangkutan, sedangkan bagi PPK berita acara tersebut sebagai dasar untuk melaporkan penyelesaian pekerjaan pengadaan barang dan jasa serta menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang dan jasa kepada PA/KPA berdasarkan pasal 11 ayat (1) huruf (f) dan huruf (g) Perpres No. 54 Tahun 2010.
Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak mengatur lebih lanjut tentang bagaimana prosedur penagihan atas pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan, padahal atas keterlambatan pembayaran kepada penyedia maka PPK dapat dimintakan ganti rugi bunga yang dihitung dari nilai tagihan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 122 huruf (a) Perpres No. 54 Tahun 2010. Hal ini dapat menjadi permasalahan tersendiri bilamana antara proses pengadaan dan proses pembayaran tidak sesuai sehingga dapat mengakibatkan seorang PPK dikenakan ganti rugi.
Sumber anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang dilakukan berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah APBN dan APBD, sehingga tata cara untuk melakukan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa mengikuti ketentuan yang mengatur pencairan alokasi dana yang bersumber dari APBN dan APBD. Dalam hal ini dikenal Surat Perintah Membayar (SPM), yaitu dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen lain yang dipersamakan.
Untuk dapat memahami bagaimana proses pencairan alokasi dana yang bersumber dari APBN dapat dilihat pada  Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Peraturan Menteri Keuangan No. 170/PMK.05/2010 Tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban Anggaran  Pendapatan  Dan Belanja Negara Pada Satuan Kerja. Untuk pencairan alokasi dana yang bersumber dari APBD berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Keadaan ini cukup menarik dikaji mengingat akhir dari proses pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam Peraturan Presiden berujung pada peraturan lain yaitu kekuasaan pengelolaan keuangan negara dan daerah, dalam hal ini diatur secara spesifik melalui Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Adanya pelimpahan kewenangan dari PA kepada pejabat yang bertanggungjawab dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa, serta pelimpahan kewenangan dari PA kepada pejabat yang melakukan proses pengeluaran anggaran belanja menunjukkan betapa kekuasaan PA harus dibagi berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan. Permasalahan lain yang juga terkait adalah adanya PA/KPA yang merangkap sebagai PPK di daerah sehingga perlu dikaji bagaimana kedudukannya dikaitkan dengan peraturan yang tersebut diatas. Persoalan ini juga menjadi pertanyaan seorang anggota milis forum pengadaan yang meminta penulis untuk meninjau permasalahan tersebut berdasarkan ilmu hukum.

B.     SUMBER HUKUM
1.      Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN
2.      Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  17  Tahun  2003 Tentang Keuangan Negara.
3.      Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4.      Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
5.      Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
6.      Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
7.      Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
8.      Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
9.      Peraturan Menteri Keuangan No. 170/PMK.05/2010 Tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban Anggaran  Pendapatan  Dan Belanja Negara Pada Satuan Kerja.

C.     ISU HUKUM
1.      Bagaimanakah tata cara melakukan pembayaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah?
2.      Siapakah Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM)?
3.      Apakah PA/KPA yang merangkap sebagai PPK berhak menjadi Pejabat Penandatangan SPM?

D.    ANALISIS
1.      Tata Cara Pembayaran Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Untuk menguraikan lebih lanjut mengenai pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa, dapat ditinjau berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  17  Tahun  2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur tentang pengeluaran negara dan daerah. Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam ayat (2), yang menjelaskan pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara tersebut. Ada dua poin dari ayat (2) yang terkait dengan pembayaran pengadaan barang dan jasa, yaitu:
(1)   Untuk kementerian negara/lembaga, kekuasaan pengelolaan keuangan dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. Hal ini mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1 Angka (19) dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004;
(2)   Untuk Pemerintah Daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah dan juga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang untuk mengelola keuangan  daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2005. Dalam pasal 5 ayat (3) PP No. 58 Tahun 2005 disebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut diperluas dengan pelimpahan kewenangan kepada : Kepala SKPD selaku PPKD dan Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran / Pengguna Barang.
  Ketentuan tersebut diatas mengatur bahwa Pengguna Anggaran (PA) adalah pejabat yang diberikan kewenangan kekuasaan pengelolaan keuangan berdasarkan undang-undang, demikian juga untuk melakukan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa yang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan adalah menjadi kewenangan Pengguna Anggaran.
Alokasi dana untuk pengadaan barang dan jasa bersumber dari APBN dan APBD sehingga untuk membahas tata cara pembayaran, akan diuraikan berdasarkan sumber pendanaannya.
a.   Alokasi Dana Yang Berasal Dari APBN
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa  Menteri/pimpinan lembaga, Kepala Daerah dan Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran, berwenang untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. Ketentuan yang sama juga dimuat dalam Pasal 3 ayat (1) PMK No. 134/PMK.06/2005 yang menyatakan pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN oleh KPPN dilakukan berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Ini berarti dalam melaksanakan pengeluaran anggaran belanja ada pemisahan antara pejabat  yang mengeluarkan dana kepada pihak ketiga/penerima hak dalam hal ini penyedia barang, dengan pejabat yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas tentang pembayaran tagihan pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBN diatur dalam pasal 6 hingga pasal 10 PMK No. 170/PMK.05/2010 dan pasal 3, pasal 9 serta pasal 12 PMK No. 134/PMK.06/2005 dengan perincian yang telah penulis singkat sebagai berikut :
1)         Tagihan atas pengadaan barang/jasa yang membebani APBN diajukan dengan surat tagihan  oleh Penerima Hak  kepada  KPA/PPK  paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada Negara.
2)         Apabila 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada Negara Penerima Hak belum mengajukan surat tagihan, maka KPA/PPK harus segera  memberitahukan secara tertulis  kepada Penerima Hak untuk mengajukan tagihan.
3)         Dalam hal setelah 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud  pada ayat (2), Penerima Hak belum mengajukan tagihan, maka Penerima Hak pada saat mengajukan tagihan harus memberikan penjelasan secara tertulis kepada KPA/PPK atas keterlambatan pengajuan tagihan tersebut.
4)         Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
a)      Kontrak/Surat Perintah Kerja/Surat Tugas/Surat Perjanjian/Surat Keputusan; 
b)      Berita Acara Kemajuan Pekerjaan; 
c)      Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan; 
d)      Berita Acara Serah Terima barang/pekerjaan; dan/atau
e)      Bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan.
5)         Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS)  untuk  non-belanja pegawai  diterbitkan oleh PPK  dan disampaikan kepada Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PP-SPM) paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah dokumen pendukung SPP-LS diterima secara lengkap dan benar dari Penerima Hak. Dokumen pendukung yang dimaksud adalah :
a)      Resume kontrak/SPK pengadaan barang dan jasa yang ditandatangani oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b)      Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB);
c)      Faktur Pajak beserta SSP-nya.
6)         Dalam hal PPK menolak/mengembalikan tagihan karena dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, maka PPK harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat tagihan.
7)         Pengujian SPP-LS sampai dengan penerbitan Surat Permintaan Membayar Langsung (SPM LS) oleh PP-SPM diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SPP-LS beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar dari PPK.
8)         Dalam  hal PP-SPM menolak/mengembalikan SPP karena dokumen pendukung SPP tidak lengkap dan benar, maka PP-SPM harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya SPP.
9)         Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN oleh KPPN dilakukan berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Pembayaran dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
10)     SPM beserta dokumen pendukung yang dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) SPM disampaikan kepada KPPN oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah SPM diterbitkan. Pelaksanaan ketentuan  ini dikecualikan untuk Satker yang kondisi geografis dan transportasinya sulit,  dengan  memperhitungkan waktu yang  dapat dipertanggungjawabkan.
11)     Berdasarkan SPM yang disampaikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, KPPN menerbitkan SP2D yang ditujukan kepada Bank Operasional mitra kerjanya.
12)     KPPN menolak permintaan pembayaran yang diajukan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal :
a)      Pengeluaran untuk MAK yang melampaui Pagu; dan/atau
b)      Tidak didukung oleh bukti pendukung/pengeluaran yang sah.
13)     Penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud pada angka (12) atau penolakan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada angka (13) wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu sebagai berikut :
a)      Penerbitan SP2D SPM Pembayaran Langsung (SPM-LS) paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya SPM secara lengkap.
b)      Pengembalian SPM dilakukan paling lambat hari kerja berikutnya sejak diterimanya SPM berkenaan.
14)     KPA melakukan pengawasan terhadap proses penyelesaian tagihan atas beban APBN pada Satker-nya masing-masing.
15)     KPA bertanggungjawab atas ketepatan waktu penyelesaian tagihan atas beban APBN pada Satker-nya masing-masing.

b.   Alokasi Dana Yang Berasal Dari APBD
Sebagaimana pengelolaan keuangan dalam APBN, berlaku pula hal yang sama dalam pengelolaan keuangan daerah yang alokasi dananya bersumber dari APBD. Dimana terdapat pemisahan antara pejabat  yang mengeluarkan dana kepada pihak ketiga/penerima hak dalam hal ini penyedia barang, dengan pejabat yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas tentang pembayaran tagihan pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD diatur dalam pasal 205, pasal 210 sampai pasal 213, dan pasal 216 sampai pasal 218 Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005. Adapun tata cara pembayaran tagihan pengadaan barang dan jasa yang telah penulis singkat sebagai berikut :
1)      Tagihan atas pengadaan barang/jasa yang membebani APBD diajukan dengan surat tagihan  oleh Pihak Ketiga/Penerima Hak  kepada  Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
2)      Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) atau PPK menyiapkan dokumen Surat Perintah Pembayaran Langsung (SPP-LS) untuk pengadaan barang dan jasa untuk disampaikan kepada bendahara pengeluaran dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran
3)      Dokumen SPP-LS  untuk pengadaan barang dan jasa terdiri dari :
a.       surat pengantar SPP-LS;
b.      ringkasan SPP-LS;
c.       rincian SPP-LS; dan
d.      lampiran SPP-LS.
4)      Lampiran dokumen  SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d mencakup:
a.       salinan Surat Penyediaan Dana (SPD);
b.      salinan surat rekomendasi dari SKPD teknis terkait;
c.       SSP disertai faktur pajak (PPN dan PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak dan wajib pungut. Bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening kas negara pada bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.      surat perjanjian kerjasama/kontrak antara pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dengan Pihak Ketiga/Penerima Hak serta mencantumkan nomor rekening bank Pihak Ketiga/Penerima Hak;
e.       berita acara penyelesaian pekerjaan;
f.        berita acara serah terima barang dan jasa;
g.       berita acara pembayaran;
h.       kwitansi bermeterai, nota/faktur yang ditandangai Pihak Ketiga/Penerima Hak dan PPK sertai disetujui oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
i.         surat jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga keuangan non bank;
j.        dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari penerusan pinjaman/hibah luar negeri;
k.      berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pihak Ketiga/Penerima Hak/rekanan serta unsur panitia pemeriksaan barang berikut lampiran daftar barang yang diperiksa;
l.         surat angkutan atau konosemen apabila pengadaan barang dilaksanakan di luar wilayah kerja;
m.     surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan dari PPK apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
n.       foto/buku/dokumentasi tingkat kemajuan/ penyelesaian pekerjaan;
o.      potongan jamsostek (potongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku/surat pemberitahuan jamsostek); dan
p.      khusus untuk pekerjaan konsultan yang perhitungan harganya menggunakan biaya personil (billing rate), berita acara prestasi kemajuan pekerjaan dilampiri dengan bukti kehadiran dari tenaga konsultan sesuai pentahapan waktu pekerjaan dan bukti penyewaan/pembelian alat penunjang serta bukti pengeluaran lainnya berdasarkan rincian dalam surat penawaran.
5)      Dalam hal kelengkapan  yang  diajukan tidak lengkap, bendahara pengeluaran mengembalikan SPP-LS pengadaan barang dan jasa kepada PPK untuk dilengkapi.
6)      Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-LS kepada pengguna anggaran setelah ditandatangani oleh PPK guna memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK-SKPD).
7)      SPP-LS belanja  barang  dan jasa untuk kebutuhan SKPD yang bukan pembayaran langsung kepada Pihak Ketiga/Penerima Hak dikelola oleh bendahara pengeluaran.
8)      Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan dokumen SPP-LS yang diajukan oleh bendahara pengeluaran. Pelaksanaannya dilakukan oleh PPK-SKPD, bilamana kelengkapan dokumen yang diajukan tidak lengkap maka PPK-SKPD mengembalikan dokumen SPP-LS kepada bendahara pengeluaran.
9)      Dalam hal dokumen SPP-LS dinyatakan lengkap dan sah, PA/KPA menerbitkan SPM paling lama 2 (dua) hari kerja. Jika SPP-LS dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah, PA/KPA menolak menerbitkan SPM paling lama dalam 1 (satu) hari kerja.  Dalam hal pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SPM.
10)  Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
11)  SPM yang telah diterbitkan PA/KPA diajukan kepada Bendahara Umum Daerah (BUD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah untuk penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
12)  BUD/Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
13)  Kelengkapan dokumen  SPM-LS untuk penerbitan SP2D mencakup:
a.       surat pernyataan tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran; dan
b.      bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap sesuai dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
14)  Dalam hal  dokumen  SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, kuasa BUD menerbitkan SP2D paling lama dalam 2 (dua) hari kerja. Jika  dokumen  SPM dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu anggaran, BUD/kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D yang dinyatakan paling lama dalam 1 (satu) hari kerja.
15)  Dalam hal BUD dan/atau kuasa BUD berhalangan,  yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SP2D.
16)  BUD/Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan pembayaran langsung kepada pihak ketiga/penerima hak.
17)  Pihak Ketiga/Penerima Hak mencairkan SP2D ke Bank yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRD.

2.       Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM)
Dalam tata cara pembayaran pengadaan barang dan jasa yang telah penulis uraikan dalam poin nomor 1 terlihat bahwa pembayaran hanya dapat dilakukan oleh KPPN ataupun BUD berdasarkan pada SPM yang diterbitkan oleh PA/KPA. Pasal 1 angka 17 PMK No. 170/PMK.05/2010  memberikan pengertian Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan. Pengertian yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 70 Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang menyatakan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.
Berdasarkan pengertian diatas, SPM diterbitkan oleh PA sehingga yang menandatangani SPM seharusnya adalah PA, namun PA dapat melimpahkan kewenangan ini kepada Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar/PP-SPM berdasarkan pasal 3 dan pasal 5 PMK No. 170/PMK.05/2010 atau pejabat lain yang ditunjuk oleh PA berdasarkan pasal 11 dan pasal 185 Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011.
Dasar hukum yang digunakan untuk menentukan pejabat yang dapat yang diberi kewenangan oleh PA untuk menandatangani SPM adalah :
a)      Pasal 3 PMK No. 170/PMK.05/2010 yang mengatur Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dapat mendelegasikan kewenangan kepada KPA untuk menetapkan/menunjuk PPK, PP-SPM dan Bendahara Pengeluaran.
b)      Pasal 228 ayat (1) Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang mengatur  bahwa Gubernur melimpahkan kewenangan kepada bupati/walikota untuk menetapkan pejabat kuasa pengguna anggaran pada SKPD kabupaten/kota yang menandatangani SPM/menguji SPP, PPTK dan bendahara pengeluaran yang melaksanakan tugas pembantuan di kabupaten/kota.
c)      Pasal 11 Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang mengatur pelimpahan kewenangan penandatangan SPM oleh PA kepada kepala unit kerja pada SKPD (atas usul kepala SKPD) adalah berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali dan/atau pertimbangan objektif lainnya.
d)      Pasal 228 ayat (2) Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang mengatur  bahwa Bupati/walikota melimpahkan kewenangan kepada kepala desa untuk menetapkan pejabat kuasa pengguna anggaran pada lingkungan pemerintahan desa yang menandatangani SPM/menguji SPP, PPTK dan bendahara pengeluaran yang melaksanakan tugas pembantuan di pemerintah desa.
Selain ketentuan diatas, khusus dalam pengadaan barang dan jasa, ada larangan bagi PPK untuk ditetapkan sebagai PP-SPM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf f. Perpres No. 54 Tahun 2010 yang menyatakan salah satu persyaratan untuk ditetapkan sebagai PPK adalah tidak menjabat sebagai pengelola keuangan. Dalam penjelasan pasal 12 ayat (2) huruf f tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud pengelola keuangan disini yaitu bendahara/verifikator/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar.

3.       Penandatangan SPM ketika PA/KPA yang merangkap sebagai PPK
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kewenangan untuk menandatangani SPM pada dasarnya ada pada Pengguna Anggaran (PA) sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan. Namun dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan kewenangan ini dapat dijalankan langsung ataupun dilimpahkan kepada KPA atau pejabat yang ditunjuk oleh PA. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan tersebut perwujudan dari Asas Proporsionalitas[1] dan Asas Profesionalitas[2] dalam asas-asas umum penyelenggaraan negara yang dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN dan pasal 20 angka 1 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Seiring dengan hal tersebut, perwujudan asas profesionalitas juga terdapat dalam pengadaan barang dan jasa berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 dimana Perpres mengamanatkan adanya pelimpahan kewenangan dari PA kepada PPK sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Permasalahan muncul ketika pemerintah daerah mengalami keterbatasan aparatur yang memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai PPK, sehingga pelimpahan kewenangan yang diamanatkan Perpres akhirnya dikembalikan kepada PA (PA merangkap sebagai PPK) agar pengadaan barang dan jasa dapat dilaksanakan tanpa perlu mencari ataupun ‘mencetak’ aparatur daerah yang memenuhi kriteria sebagai PPK.
Terlepas dari masih banyaknya perdebatan mengenai kedudukan PA yang merangkap sebagai PPK, praktek di daerah bisa jadi ada dan masih berlangsung hingga saat ini. Jika terjadi PA merangkap sebagai PPK maka hal ini berarti PA secara langsung melaksanakan semua proses pengadaan dari awal hingga selesai tanpa adanya pelimpahan kewenangan kepada pejabat lain, termasuk dalam melakukan pembayaran atas tagihan pengadaan barang dan jasa dari penyedia selaku pihak ketiga/penerima hak.  Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga penyelesaian/pembayaran kontrak pengadaan barang dan jasa semua berada di tangan Pengguna Anggaran. Ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemerintahan tidak lagi menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Begitu besarnya jumlah aparatur negara tetapi proses penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan dengan baik karena kualitas aparatur yang rendah, sehingga kewenangan yang seharusnya dilimpahkan, dalam pelaksanaannya dikembalikan lagi kepada yang melimpahkan kewenangan tersebut. Sungguh ironis sekali, padahal beban anggaran belanja untuk pegawai mendapat porsi yang besar dalam APBN dan APBD.


E.     KESIMPULAN
  1. Tata cara pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa melalui beberapa tahapan yang disebabkan adanya pelimpahan kewenangan oleh Pengguna Anggaran kepada pejabat yang ditunjuk, serta adanya pemisahan antara pejabat  yang mengeluarkan dana kepada penyedia barang, pejabat yang mempunyai kewenangan untuk mencairkan dana tersebut sebagai pengelolaan perwujudan kekuasaan keuangan negara
  2. Kewenangan untuk melakukan pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa berada pada Pengguna Anggaran sebagai penerbit dan penandatangan SPM. Kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada Pejabat Penandatangan SPM ataupun pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundag-undangan.
  3. PA yang merangkap sebagai PPK dalam pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa semua proses pengadaan barang dan jasa, sejak perencanaan hingga pembayaran kepada penyedia, dikembalikan kepada PA sebagai pemegang kewenangan. Inilah salah satu bentuk penyelenggaraan negara yang tidak menaati asas-asas umum pemerintahan yang baik.

[1] Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
[2] Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Selasa, 24 Januari 2012

KEDUDUKAN PA, KPA, PPK, PEJABAT PENGADAAN dan PPTK DALAM PENGADAAN BARANG/JASA


A.     PERMASALAHAN
Kedudukan Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam pengadaan barang/jasa di daerah ternyata masih menjadi persoalan besar dan pelik di kalangan aparatur daerah. Bagaimana kriteria dan persyaratan dalam mengangkat pejabat yang bertanggung jawab dan melaksanakan pengadaan barang/jasa berdasarkan Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sekaligus juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah masih menjadi persoalan.
Adanya PPTK dalam PP Nomor 58 tahun 2005 yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang hampir sama dengan PPK dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 masih menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan PPTK yang melaksanakan pengadaan barang/jasa. Demikian pula dengan penetapan PPK dan Pejabat Pengadaan yang disyaratkan mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa dikaitkan dengan PNS yang memegang jabatan karier, sehingga bisa saja terjadi konflik internal antar aparatur sebagai akibat adanya pejabat yang secara karier lebih tinggi pangkatnya namun dalam pengadaan barang/jasa tidak bisa bertindak sebagai PPK.
            Isu hukum yang muncul dalam permasalahan ini adalah bagaimana kedudukan PA/KPA, PPK, Pejabat Pengadaan dan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan pengelolaan keuangan daerah.

B.     SUMBER HUKUM
1.      Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kewenangan Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran.
2.      Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah  yang mengatur kewenangan PA/KPA dan PPTK dalam pengelolaan Keuangan Daerah
3.      Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur kewenangan PA/KPA, PPK dan Pejabat Pengadaan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah

C.     ISU HUKUM
1.      Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PA dan KPA dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana yang diatur dalam PP 58 tahun 2005 dan Perpres 54 tahun 2010
2.      Bagaimana kedudukan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan kewenangannya dalam PP 58 tahun 2005
3.      Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PPK dan Pejabat Pengadaan berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 terkait dengan PNS sebagai jabatan karir.


D.    ANALISIS
1.      a.   Kedudukan PA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 5 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Pengguna Anggaran (PA) sebagai Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Definisi ini mengacu pada definisi PA dalam dalam Pasal 1 angka  12 UU No. 1 Tahun 2004, karena dalam konsiderans Perpres menyebutkan UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi PA dalam Perpres tersebut tidak disebutkan, sehingga untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi PA adalah dengan melihat aturan pada UU No. 1 Tahun 2004, dimana yang dapat menjadi PA adalah :
a.       Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan pasal 4 ayat (1);
b.      Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah berdasarkan pasal 5 ayat (1);
c.       Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya berdasarkan pasal 6 ayat (1).
            Mengenai kewenangan dari PA dalam pengadaan barang/jasa telah cukup jelas di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
b.   Kedudukan KPA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Sebagaimana definisi PA, definisi KPA tersebut mengacu pada definisi KPA dalam pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi KPA tidak diatur, mengingat bahwa definisi KPA adalah pemegang kuasa dari Pengguna Anggaran, karena penetapannya berupa pelimpahan wewenang dengan memberi kuasa maka siapa saja dapat ditetapkan oleh PA sebagai KPA dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan siapa yang akan ditetapkan sebagai KPA pada dasarnya wewenang dari PA, namun demikian dari hasil analisis penulis, khusus untuk Kepala Unit Kerja pada SKPD yang akan ditetapkan sebagai KPA oleh Kepala Daerah harus diusulkan oleh Pengguna Anggaran (dalam hal ini adalah Kepala SKPD) berdasarkan pasal 11 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005 dan penjelasan pasal  5 UU No. 1 Tahun 2004.
Kedudukan KPA harus dilihat sebagai aparatur yang menjalankan kuasa, sehingga kewenangan KPA terbatas berdasarkan khusus pada pelimpahan kewenangan yang diberikan, dengan demikian ketika KPA ditetapkan dalam pengadaan barang/jasa maka kewenangannya pun sesuai dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010. Disamping itu juga KPA bukanlah jabatan, baik secara struktural maupun fungsional, sehingga pertimbangan dalam pemilihan aparatur yang ditetapkan sebagai KPA tidak terikat apakah KPA harus pejabat struktural ataupun pejabat fungsional. Pertimbangan yang baik dapat berdasarkan pada tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (3) PP No. 58 Tahun 2005.

2.       Kedudukan PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 16 PP No. 58 Tahun 2005 menyatakan bahwa Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.  Berdasarkan pasal 12 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2005, PA/KPA  menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK untuk melaksanakan program dan kegiatan, dengan tugas mencakup (pasal 12 ayat 2):
  1. mengendalikan  pelaksanaan kegiatan;
  2. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
  3. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.
Dengan demikian PPTK bertanggung jawab kepada pejabat PA/KPA (pasal 13 ayat 2). Pemilihan PPTK berdasarkan pada pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya (Pasal 13 ayat 1). Berdasarkan uraian diatas, PPTK merupakan pelaksana sekaligus penanggung jawab kegiatan di unit kerja SKPD.
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu kegiatan di Kementerian/Lembaga/SKPD/Instansi sehingga berdasarkan ketentuan ini PPTK berwenang untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa. Namun demikian dengan adanya Perpres No. 54 Tahun 2010, maka ketentuan yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa menjadi khusus berdasarkan asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” yang berarti bilamana terdapat 2 (dua) peraturan/ketentuan yang sederajat (sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama, dimana yang satu lebih bersifat khusus dan yang lain bersifat umum, maka ketentuan yang lebih bersifat khusus yang diberlakukan[1].
Perpres No. 54 Tahun 2010 mengatur bahwa penanggung jawab dalam kegiatan pengadaan barang/jasa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),  sedangkan pelaksananya dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan / Pejabat Pengadaan, tidak ada kewenangan yang diatur dan diberikan kepada PPTK dalam pengadaan barang/jasa. Kedudukan PPTK dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Perpres No. 54 Tahun 2010 yaitu sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK untuk membantu pelaksanaan barang/jasa. Jadi jelas PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi tidak mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa.
Bagaimana dengan PPTK yang merangkap sebagai PPK? Karena tidak ada larangan maka hal tersebut diperbolehkan, dengan syarat bahwa dalam kapasitas sebagai PPK, aparatur tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai seorang PPK. Tidak dapat dikatakan bahwa seorang PPTK karena mempunyai kewenangan sebagai pelaksana dan penanggung jawab di SKPD maka dapat menjabat sebagai PPK walaupun kriteria aparatur tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan sebagai seorang PPK.

4.      Kedudukan PPK dan Pejabat Pengadaan dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 1 Angka 9 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dari definisi tersebut jelas bahwa dalam pengadaan barang/jas PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pejabat pengadaan adalah pejabat yang melaksanakan, kedudukan Pejabat Pengadaan secara fungsi sama dengan ULP.
PPK dan Pejabat Pengadaan ditetapkan oleh PA/KPA sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010. Penetapan PPK dilakukan berdasarkan persyaratan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), yaitu :
  1. memiliki integritas;
  2. memiliki disiplin tinggi;
  3. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
  4. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
  5. menandatangani Pakta Integritas; 
  6. tidak menjabat sebagai pengelola keuangan (dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud pengelola keuangan disini yaitu bendahara/verifikator/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar); dan
  7. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
  8. berpendidikan  paling  kurang  Sarjana  Strata  Satu  (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
  9. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
  10. memiliki  kemampuan  kerja  secara  berkelompok  dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
Khusus untuk PPK di daerah berdasarkan pasal 127 huruf c yang mengatur ketentuan masa transisi menentukan bahwa terhitung sejak 1 Januari 2012 wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa
Persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pejabat Pengadaan adalah berdasarkan pasal 17 ayat (1), yaitu :
  1. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
  2. memahami pekerjaan  yang akan diadakan;
  3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
  4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
  5. tidak  mempunyai  hubungan  keluarga  dengan  Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
  6. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
  7. menandatangani Pakta Integritas.
Berdasarkan aturan persyaratan tersebut jelas bahwa baik PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk kepentingan khusus, dalam hal ini untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Tidak ada persyaratan lain yang diatur ataupun ruang yang diberikan untuk persyaratan tambahan bagi PPK ataupun Pejabat pengadaan karena tujuan adanya persyaratan tersebut bukan mencari aparatur daerah yang sudah senior atau mencari aparat daerah yang pangkatnya tinggi atau golongannya yang tinggi serta bukan pula bertujuan jabatan tersebut disesuaikan dengan jenjang kepangkatan yang ada. Sebagaimana tersirat dalam Penjelasan Perpres No. 54 Tahun 2010, aparatur yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa dituntut merupakan seorang yang profesional dan tidak berpihak (independen) agar dapat menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel. Hasil akhirnya adalah penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif,  dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran  tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Kedudukan PNS yang memegang jabatan karir secara struktural dan fungsional adalah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PNS. Dengan demikian ketika aparatur di daerah menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun kewenangan yang diberikan Perpres cukup besar namun terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E.     KESIMPULAN
  1. Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah :
a.       Menteri/pimpinan lembaga bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b.      Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah;
c.       Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya.
  1. Kuasa Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah pemegang kuasa Pengguna Anggaran yang memiliki kewenangan berdasarkan kepada pelimpahan wewenang yang diberikan dalam kuasa. Kewenangan KPA dalam pengadaan barang/jasa sama dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
  2. Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak memberikan kewenangan kepada PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi dalam pengadaan barang/jasa. PPTK dapat bertindak sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK.
  3. PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Aparatur yang menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun mempunyai kewenangan yang cukup besar berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 namun kewenangan tersebut terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


[1] Peter MahmudMarzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 306