Selasa, 24 Januari 2012

KEDUDUKAN PA, KPA, PPK, PEJABAT PENGADAAN dan PPTK DALAM PENGADAAN BARANG/JASA


A.     PERMASALAHAN
Kedudukan Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam pengadaan barang/jasa di daerah ternyata masih menjadi persoalan besar dan pelik di kalangan aparatur daerah. Bagaimana kriteria dan persyaratan dalam mengangkat pejabat yang bertanggung jawab dan melaksanakan pengadaan barang/jasa berdasarkan Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sekaligus juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah masih menjadi persoalan.
Adanya PPTK dalam PP Nomor 58 tahun 2005 yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang hampir sama dengan PPK dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 masih menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan PPTK yang melaksanakan pengadaan barang/jasa. Demikian pula dengan penetapan PPK dan Pejabat Pengadaan yang disyaratkan mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa dikaitkan dengan PNS yang memegang jabatan karier, sehingga bisa saja terjadi konflik internal antar aparatur sebagai akibat adanya pejabat yang secara karier lebih tinggi pangkatnya namun dalam pengadaan barang/jasa tidak bisa bertindak sebagai PPK.
            Isu hukum yang muncul dalam permasalahan ini adalah bagaimana kedudukan PA/KPA, PPK, Pejabat Pengadaan dan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan pengelolaan keuangan daerah.

B.     SUMBER HUKUM
1.      Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kewenangan Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran.
2.      Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah  yang mengatur kewenangan PA/KPA dan PPTK dalam pengelolaan Keuangan Daerah
3.      Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur kewenangan PA/KPA, PPK dan Pejabat Pengadaan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah

C.     ISU HUKUM
1.      Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PA dan KPA dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana yang diatur dalam PP 58 tahun 2005 dan Perpres 54 tahun 2010
2.      Bagaimana kedudukan PPTK dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan kewenangannya dalam PP 58 tahun 2005
3.      Perlunya penegasan siapa yang dapat menjadi PPK dan Pejabat Pengadaan berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 terkait dengan PNS sebagai jabatan karir.


D.    ANALISIS
1.      a.   Kedudukan PA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 5 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Pengguna Anggaran (PA) sebagai Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD. Definisi ini mengacu pada definisi PA dalam dalam Pasal 1 angka  12 UU No. 1 Tahun 2004, karena dalam konsiderans Perpres menyebutkan UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi PA dalam Perpres tersebut tidak disebutkan, sehingga untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi PA adalah dengan melihat aturan pada UU No. 1 Tahun 2004, dimana yang dapat menjadi PA adalah :
a.       Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan pasal 4 ayat (1);
b.      Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah berdasarkan pasal 5 ayat (1);
c.       Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya berdasarkan pasal 6 ayat (1).
            Mengenai kewenangan dari PA dalam pengadaan barang/jasa telah cukup jelas di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
b.   Kedudukan KPA dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 6 Perpres No. 54 Tahun 2010 mendefinisikan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Sebagaimana definisi PA, definisi KPA tersebut mengacu pada definisi KPA dalam pasal 1 angka 18 UU No. 1 Tahun 2004.
Mengenai siapa yang dapat menjadi KPA tidak diatur, mengingat bahwa definisi KPA adalah pemegang kuasa dari Pengguna Anggaran, karena penetapannya berupa pelimpahan wewenang dengan memberi kuasa maka siapa saja dapat ditetapkan oleh PA sebagai KPA dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan siapa yang akan ditetapkan sebagai KPA pada dasarnya wewenang dari PA, namun demikian dari hasil analisis penulis, khusus untuk Kepala Unit Kerja pada SKPD yang akan ditetapkan sebagai KPA oleh Kepala Daerah harus diusulkan oleh Pengguna Anggaran (dalam hal ini adalah Kepala SKPD) berdasarkan pasal 11 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005 dan penjelasan pasal  5 UU No. 1 Tahun 2004.
Kedudukan KPA harus dilihat sebagai aparatur yang menjalankan kuasa, sehingga kewenangan KPA terbatas berdasarkan khusus pada pelimpahan kewenangan yang diberikan, dengan demikian ketika KPA ditetapkan dalam pengadaan barang/jasa maka kewenangannya pun sesuai dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010. Disamping itu juga KPA bukanlah jabatan, baik secara struktural maupun fungsional, sehingga pertimbangan dalam pemilihan aparatur yang ditetapkan sebagai KPA tidak terikat apakah KPA harus pejabat struktural ataupun pejabat fungsional. Pertimbangan yang baik dapat berdasarkan pada tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (3) PP No. 58 Tahun 2005.

2.       Kedudukan PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 16 PP No. 58 Tahun 2005 menyatakan bahwa Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.  Berdasarkan pasal 12 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2005, PA/KPA  menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK untuk melaksanakan program dan kegiatan, dengan tugas mencakup (pasal 12 ayat 2):
  1. mengendalikan  pelaksanaan kegiatan;
  2. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
  3. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.
Dengan demikian PPTK bertanggung jawab kepada pejabat PA/KPA (pasal 13 ayat 2). Pemilihan PPTK berdasarkan pada pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya (Pasal 13 ayat 1). Berdasarkan uraian diatas, PPTK merupakan pelaksana sekaligus penanggung jawab kegiatan di unit kerja SKPD.
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu kegiatan di Kementerian/Lembaga/SKPD/Instansi sehingga berdasarkan ketentuan ini PPTK berwenang untuk melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa. Namun demikian dengan adanya Perpres No. 54 Tahun 2010, maka ketentuan yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa menjadi khusus berdasarkan asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” yang berarti bilamana terdapat 2 (dua) peraturan/ketentuan yang sederajat (sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama, dimana yang satu lebih bersifat khusus dan yang lain bersifat umum, maka ketentuan yang lebih bersifat khusus yang diberlakukan[1].
Perpres No. 54 Tahun 2010 mengatur bahwa penanggung jawab dalam kegiatan pengadaan barang/jasa adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),  sedangkan pelaksananya dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan / Pejabat Pengadaan, tidak ada kewenangan yang diatur dan diberikan kepada PPTK dalam pengadaan barang/jasa. Kedudukan PPTK dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Perpres No. 54 Tahun 2010 yaitu sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK untuk membantu pelaksanaan barang/jasa. Jadi jelas PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi tidak mempunyai kewenangan dalam pengadaan barang/jasa.
Bagaimana dengan PPTK yang merangkap sebagai PPK? Karena tidak ada larangan maka hal tersebut diperbolehkan, dengan syarat bahwa dalam kapasitas sebagai PPK, aparatur tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai seorang PPK. Tidak dapat dikatakan bahwa seorang PPTK karena mempunyai kewenangan sebagai pelaksana dan penanggung jawab di SKPD maka dapat menjabat sebagai PPK walaupun kriteria aparatur tersebut tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan sebagai seorang PPK.

4.      Kedudukan PPK dan Pejabat Pengadaan dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 1 Angka 7 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 1 Angka 9 Perpres No. 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Dari definisi tersebut jelas bahwa dalam pengadaan barang/jas PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pejabat pengadaan adalah pejabat yang melaksanakan, kedudukan Pejabat Pengadaan secara fungsi sama dengan ULP.
PPK dan Pejabat Pengadaan ditetapkan oleh PA/KPA sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010. Penetapan PPK dilakukan berdasarkan persyaratan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 ayat (2) dan ayat (3), yaitu :
  1. memiliki integritas;
  2. memiliki disiplin tinggi;
  3. memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
  4. mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
  5. menandatangani Pakta Integritas; 
  6. tidak menjabat sebagai pengelola keuangan (dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud pengelola keuangan disini yaitu bendahara/verifikator/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar); dan
  7. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
  8. berpendidikan  paling  kurang  Sarjana  Strata  Satu  (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
  9. memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
  10. memiliki  kemampuan  kerja  secara  berkelompok  dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
Khusus untuk PPK di daerah berdasarkan pasal 127 huruf c yang mengatur ketentuan masa transisi menentukan bahwa terhitung sejak 1 Januari 2012 wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa
Persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pejabat Pengadaan adalah berdasarkan pasal 17 ayat (1), yaitu :
  1. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
  2. memahami pekerjaan  yang akan diadakan;
  3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;
  4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;
  5. tidak  mempunyai  hubungan  keluarga  dengan  Pejabat yang menetapkannya sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan;
  6. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan
  7. menandatangani Pakta Integritas.
Berdasarkan aturan persyaratan tersebut jelas bahwa baik PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk kepentingan khusus, dalam hal ini untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Tidak ada persyaratan lain yang diatur ataupun ruang yang diberikan untuk persyaratan tambahan bagi PPK ataupun Pejabat pengadaan karena tujuan adanya persyaratan tersebut bukan mencari aparatur daerah yang sudah senior atau mencari aparat daerah yang pangkatnya tinggi atau golongannya yang tinggi serta bukan pula bertujuan jabatan tersebut disesuaikan dengan jenjang kepangkatan yang ada. Sebagaimana tersirat dalam Penjelasan Perpres No. 54 Tahun 2010, aparatur yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa dituntut merupakan seorang yang profesional dan tidak berpihak (independen) agar dapat menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel. Hasil akhirnya adalah penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif,  dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran  tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Kedudukan PNS yang memegang jabatan karir secara struktural dan fungsional adalah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang PNS. Dengan demikian ketika aparatur di daerah menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun kewenangan yang diberikan Perpres cukup besar namun terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E.     KESIMPULAN
  1. Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah :
a.       Menteri/pimpinan lembaga bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b.      Gubernur, bupati / walikota selaku Kepala Pemerintah Daerah;
c.       Kepala SKPD bagi SKPD yang dipimpinnya.
  1. Kuasa Pengguna Anggaran dalam Pengadaan Barang/Jasa adalah pemegang kuasa Pengguna Anggaran yang memiliki kewenangan berdasarkan kepada pelimpahan wewenang yang diberikan dalam kuasa. Kewenangan KPA dalam pengadaan barang/jasa sama dengan kewenangan PA sebagaimana yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010.
  2. Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak memberikan kewenangan kepada PPTK yang berada dalam Kementrian/Lembaga/SKPD/Instansi dalam pengadaan barang/jasa. PPTK dapat bertindak sebagai tim pendukung yang dibentuk oleh PPK.
  3. PPK maupun Pejabat Pengadaan bukanlah jabatan karir (struktural maupun fungsional), keduanya merupakan jabatan khusus yang diberikan oleh Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 untuk kepentingan pengadaan barang/jasa di Pemerintahan. Aparatur yang menjabat sebagai PPK ataupun Pejabat Pengadaan walaupun mempunyai kewenangan yang cukup besar berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 namun kewenangan tersebut terbatas hanya dalam pengadaan barang/jasa, diluar kepentingan tersebut aparatur tersebut tetaplah sebagai PNS yang memegang jabatan karirnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


[1] Peter MahmudMarzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 306

PA/KPA MERANGKAP PPK DALAM PERMENDAGRI No. 21 TAHUN 2011


            Ketika penulis selesai memposting link legal opinion[1] atas Surat Deputi IV LKPP mengenai Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dapat merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ada tanggapan dari rekan sesama Ahli Pengadaan Nasional dan juga admin http://forum.pengadaan.org, bahwa dasar hukum yang digunakan saat ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Setelah mengunduh dan menganalisa, penulis berpendapat bahwa telah terjadi antinomi antara Permendagri No. 21 tahun 2011 dengan Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan oleh PA/KPA dengan merangkap sebagai PPK.
Perpres No. 54 tahun 2010 menegaskan pemisahan antara PA/KPA dengan PPK berupa pemberian kriteria (persyaratan) dan kewenangan yang berbeda, namun dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 keduanya dapat dirangkap dan dijadikan satu. Dari sini timbul pertanyaan apa dampak hukum atas PA/KPA yang merangkap sebagai PPK dengan dasar hukum Permendagri No. 21 tahun 2011 tersebut. 
Dalam konsiderans Permendagri No. 21 tahun 2011 disebutkan beberapa alasan yang menjadi pertimbangan dalam penyusunannya, salah satunya adalah :  penegasan terhadap kedudukan pejabat pembuat komitmen. Kemudian dalam pasal 10 A, disebutkan:

Pasal 10A
Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kemudian dalam Pasal 11, disebutkan:
Pasal 11
(1)       Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian kewenangannya  kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.

-sampai dengan-

(4)       Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna anggaran/pengguna barang.
(5)       Dalam pengadaan barang/jasa, Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
Dari uraian pasal-pasal dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pengadaan barang/jasa Permendagri menegaskan bahwa PA/KPA dapat bertindak sekaligus sebagai PPK. Tidak ada dasar hukum yang disebutkan sehingga ada pengaturan tersebut, jadi yang membuat aturan adalah Permendagri tersebut.
Perpres No. 54 tahun 2010 mengatur bahwa dalam pengadaan barang/jasa, antara PA/PPK dengan PPK dipisahkan (PA/KPA menetapkan PPK), sehingga ada pemberian kewenangan dari PA/KPA kepada PPK khusus dalam hal pengadaan barang/jasa. Dengan adanya pemberian kewenangan kepada PPK, jelas kedudukannya bahwa PPK bertanggungjawab kepada PA/KPA. Kenapa pengaturannya seperti itu? Sebagaimana disebutkan dalam konsiderans, bahwa penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif,  sehingga diperlukan upaya untuk menciptakan  keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran  tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Itulah sebabnya Perpres  mendefinisikan PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan untuk menjadi PPK diberikan persyaratan yang cukup tinggi sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 ayat (2). Titik berat dalam Perpres No. 54 tahun 2010 adalah PPK haruslah seorang yang profesional dan tidak berpihak (independen) sehingga dapat menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Karena Perpres No. 54 tahun 2010 mengamanatkan adanya pemisahan antara PA/KPA dengan PPK sedangkan Permendagri No. 21 tahun 2011 memperbolehkan maka terjadi pertentangan/konflik antara norma hukum (antinomi) ada pertentangan hukum, bagaimana meninjau keadaan ini dalam ilmu hukum? jawabannya dikembalikan kepada tata peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Pasal 5 Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan :
Pasal 5
Dalam  membentuk  Peraturan  Perundang-undangan harus  dilakukan  berdasarkan  pada  asas  Pembentukan Peraturan  Perundang-undangan  yang  baik,  yang meliputi:
a.  kejelasan tujuan;
b.  kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c.  kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d.  dapat dilaksanakan;
e.  kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.  kejelasan rumusan; dan
g.  keterbukaan.
Kemudian dalam Pasal 8, disebutkan:
Pasal 8
(1)  Jenis  Peraturan  Perundang-undangan  selain sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7  ayat  (1) mencakup  peraturan  yang  ditetapkan  oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan  Perwakilan  Daerah,  Mahkamah  Agung, Mahkamah  Konstitusi,  Badan  Pemeriksa  Keuangan, Komisi  Yudisial,  Bank  Indonesia,  Menteri,  badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan  Undang-Undang  atau  Pemerintah  atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten/Kota,  Bupati/Walikota,  Kepala Desa atau yang setingkat. 
Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang  ditetapkan  oleh  menteri  berdasarkan  materi  muatan dalam  rangka  penyelenggaraan  urusan  tertentu  dalam pemerintahan.
Dengan meninjau Undang Undang No. 12 Tahun 2011 kita dapat melihat bahwa Peraturan Menteri juga bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 ayat 1), namun demikian sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5, pembentukan peraturan menteri harus melihat pada kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; serta disusun dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan (penjelasan Pasal 8 ayat 1).
Dari sini dapat dibuat kesimpulan, yaitu :
1.      Pengaturan PA/KPA dapat bertindak sebagai PPK dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011 tidak sesuai secara hierarki dan materi muatan dengan Perpres No. 54 tahun 2010 yang lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Permendagri berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini sesuai dengan asas hukum “Lex Superior Derogat Legi Inferiori” dimana terhadap 2 (dua) peraturan yang berada dalam urutan yang berbeda dan mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi[2], dalam hal ini Permendagri secara hierarki lebih rendah dari Perpres.
2.      Ruang lingkup Permendagri No. 21 Tahun 2011 adalah urusan tertentu dalam Kementrian Dalam Negeri, seharusnya pengaturan tersebut dibaca khusus diberlakukan bagi Kementrian Dalam Negeri, namun demikian kekhususan tersebut seharusnya bersifat mengatur lebih jauh dan tidak membuat aturan yang menyimpangi dan bertentangan dengan peraturan diatasnya secara hierarki. Asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi Generali” memang mengatur penggunaan peraturan yang lebih khusus, namun asas tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena kriterianya adalah bilamana 2 (dua) peraturan tersebut dalam urutan yang sama (sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama[3].
Lantas bagaimana jalan keluar mengatasi keadaan yang terjadi di daerah saat ini? kalau dihadapkan pada terbatasnya aparatur, maka PA tidak perlu membuat KPA, personil yang tadinya akan ditempatkan sebagai KPA dapat dijadikan sebagai PPK dengan kewenangan yang dibutuhkan oleh PA. Contoh : Bupati dapat membentuk 1 ULP terlebih dahulu untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa bagi semua SKPD di Kabupaten, dengan demikian tidak perlu membuat banyak panitia pengadaan bagi masing-masing SKPD. Dengan adanya satu badan ULP, maka aparatur yang bersertifikat dapat diangkat oleh PA sebagai PPK dalam pelaksanaan pengadaan, lalu dapat dipertimbangkan apakah KPA masih diperlukan atau tidak. 


[1] Denny Yapari, PA/KPA Yang Merangkap Sebagai PPK, Surabaya, Legal Opinion, 2011, dapat diunduh di http://rghost.net/36013548

[2] Peter MahmudMarzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 306

[3] Ibid

PENGGUNA ANGGARAN/KPA YANG MERANGKAP SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN


Topik ini sengaja dipilih karena adanya posting yang menjadi topik hangat dalam http://forum.pengadaan.org dimana penulis menjadi sebagai salah satu anggotanya. Dalam posting tersebut disebutkan bahwa ada surat Deputi IV LKPP[1] yang dikeluarkan terkait dengan masih terbatasnya aparatur di daerah yang memiliki sertifikat Pengadaan Barang/Jasa. Sumber informasinya dari account facebook pribadi Direktur E-Procurement LKPP.
Isi surat tersebut menyebutkan bahwa PA/KPA yang melakukan sendiri tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja dan fungsi-fungsi lain dari membuat komitmen atau merangkap sebagai PPK tidak wajib bersertifikat (angka 5). Disebutkan juga bahwa Pengguna Anggaran (PA) dapat mengusulkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota agar Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) bertindak sebagai PPK (angka 7a) dan KPA yang melakukan sendiri fungsi membuat komitmen tidak wajib bersertifikat (angka 7b), dengan disertai penjelasan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar yaitu tidak menetapkan Organisasi Pengadaan sebagaimana ketentuan Pasal 7 dan tidak menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010.
Membaca isi surat tersebut sekilas merupakan jalan keluar bagi daerah dengan kendala masih terbatasnya aparatur yang memiliki sertifikat, namun demikian setelah penulis kaji ulang secara ilmu hukum, penulis berpendapat surat tersebut cacat hukum, sehingga rentan menimbulkan sengketa bagi PA/KPA di daerah yang melaksanakannya. Surat Deputi LKPP tersebut mengandung 3 (tiga) hal yang menyebabkan cacat hukum, yaitu :
1.      Tidak ada dasar hukum yang menyebutkan bahwa PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK, sebagaimana yang disebutkan dalam angka 5 surat Deputi IV LKPP, walaupun demikian hal tersebut juga tidak terlarang, karena tidak ada ketentuan yang melarangnya. Dari sini timbul pertanyaan apakah dengan dasar tidak adanya larangan, dapat dibuat produk hukum yang memperbolehkan dengan berlandaskan pada penalaran hukum terhadap aturan secara letterlijk saja? Tentu saja tidak, karena ada konsekuensi lain yang perlu dipertimbangkan sebagai dampak dari diperbolehkannya perbuatan tersebut secara hukum. Dalam surat Deputi IV LKPP tersebut nampak jelas LKPP menggunakan penalaran hukum dengan mencari celah diantara dua produk hukum yang berbeda, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur kedudukan PA/KPA dalam hal penggunaan anggaran dan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa yang mengatur tentang bagaimana PA/KPA melakukan tender/Pengadaan, keduanya secara material sangat berbeda, sehingga masing-masing peraturan memberikan kewenangan yang berbeda kepada PA/KPA walaupun dampaknya sama yaitu dikeluarkannya Anggaran Daerah oleh PA/KPA secara hukum. Sebagai pejabat publik, PA/KPA haruslah bertindak berdasarkan kewenangan, dengan demikian kewenangan yang dimiliki PA/KPA tidak bisa disalahgunakan secara hukum. Dengan demikian ketika LKPP bermaksud mengijinkan PA/KPA dapat merangkap sebagai PPK, seharusnya dengan terlebih dahulu membuat aturan yang memberi kewenangan kepada PA/KPA untuk melakukannya secara hukum, bukan berdasarkan surat.
2.      Surat Deputi LKPP sendiri bukanlah produk hukum yang mengikat, sedangkan kewenangan yang diberikan dalam surat itu mengikat bagi para pihak yang melakukan tender/lelang/pengadaan. Ini berarti surat Deputi LKPP tersebut melampaui kewenangannya sendiri, sehingga bukanlah produk hukum yang tepat sebagai jalan keluar atas permasalahan yang ada.
3.      Surat tersebut juga secara jelas menyatakan bahwa PA/KPA yang merangkap sebagai PPK tidak melaksanakan tugasnya untuk menetapkan PPK dan melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 8 ayat (1) huruf c (Angka 6 Surat Deputi IV LKPP). Pernyataan ini berarti bahwa PA/KPA yang merangkap sebagai PPK telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam ilmu hukum, perbuatan melawan hukum didefinisikan sebagai setiap tindakan berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan : (1) hak subyektif orang lain; (2) kewajiban hukum si pelaku; (3) kaidah kesusilaan (geode zeden); dan (4) kepatutan dalam masyarakat[2]. Jadi perbuatan yang dianjurkan kepada PA/KPA adalah sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya. Ini sangat berbahaya bagi PA/KPA sendiri yang berada di daerah, ketika perbuatan tersebut terjadi maka semua produk yang dikeluarkan sebagai akibat hubungan hukumnya menjadi cacat hukum. Lantas bagaimana mungkin perbuatan ini bisa dijadikan sebagai jalan keluar bagi institusi di daerah. Bisa jadi semua PA/KPA yang melakukan hal tersebut digugat ke Pengadilan Negeri oleh peserta tender/lelang yang gagal menjadi pemenang.
            Permasalahan ini timbul karena daerah sendiri tidak menyiapkan aparaturnya dengan baik, padahal ketentuan perundang-undangan telah mengamanatkan dan memberikan kelonggaran (jeda) waktu yang cukup selama 2 (dua) tahun bagi PPK di daerah untuk memperoleh sertifikasi. Jalan keluar yang diberikan LKPP sebagai lembaga yang diberikan kewenangan secara hukum seharusnya sesuai dengan jalur hukum tidak malah terkesan menyuruh melakukan perbuatan melawan hukum.
            Alangkah lebih baik jalan keluar yang diberikan oleh LKPP untuk mengatasi permasalahan diatas adalah PA/KPA di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota membentuk minimal 1 (satu) ULP yang diisi dengan aparatur yang memenuhi syarat, sebagaimana yang diamanatkan Perpres No. 54 tahun 2010. Jumlah ULP ini kemudian dapat dikembangkan dimasing-masing SKPD seiring dengan meningkatnya jumlah aparatur yang memenuhi syarat. Opsi lain kembali kepada LKPP sendiri bagaimana menghasilkan aparatur daerah yang memiliki sertifikasi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Saat ini dari pelatihan dan ujian yang diumumkan di website LKPP terlihat sangat besar ketimpangan antara jumlah lulusan dengan pesertanya, secara kasar dapat dirata-rata lulusannya hanya 10%-20% dari jumlah peserta yang ada. Ada apa dengan aparatur kita? Apakah memang sedemikian rendah kompetensinya? jika memang rendah kompetensinya lantas apa hasilnya uang rakyat dibiayai untuk meningkatkan kompetensi aparatur negara kita dengan pelatihan? Kalau pelatihannya yang salah, apanya yang salah dengan sistem pelatihan yang dibuat LKPP saat ini? Jawabannya kembali kepada LKPP.



[1] Unit Kerja yang dicantumkan di Website LKPP tidak menyebutkan Deputi IV, maka saya mengasumsikan bahwa Deputi IV LKPP adalah Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Surat asli juga tidak ada di website LKPP.
[2] Erman Rajagukguk, Perbuatan Melawan Hukum Oleh Individu Dan Penguasa Serta Kebijaksanaan Penguasa Yang Tidak Dapat Digugat, diunduh dari http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/ diakses tanggal 17 November 2011.